Friday, October 24, 2008

Karimun Jawa – Day 3

Ketika saya bangun seluruh wisma masih senyap. Saya duduk di gazebo sambil mengamati berkas-berkas cahaya pertama muncul di ufuk timur. Matahari kembali tersaput awan sehingga sunrise tidak sepenuhnya terlihat. Satu persatu teman yang lain muncul sambil membawa kamera masing-masing. Pelajaran moral dari perjalanan ini adalah, dimana ada kamera, disitu ada keramaian. Begitu para fotografer mengeluarkan kamera mereka masing-masing, sontak teman-teman lain menyambut antusias jepretan kamera dengan berbagai pose andalan. Walaupun tampang-tampang yang eksis bisa dibilang itu-itu saja, dan saya salah satu diantaranya. Bakat narsis memang sulit ditahan, apalagi suasana keakraban yang terjalin sangat mendukung untuk memunculkan sifat-sifat memalukan kami yang mungkin selama ini tersembunyi. Belum lagi sebagian besar peserta ternyata juga memiliki kegilaan dan kenekatan masing-masing. Beberapa diantaranya adalah Arianne dan Adri yang nekat nyemplung ke kolam untuk bercengkerama dengan hiu. Hiu-hiu itu sama sekali bukan bahan kekhawatiran karena mereka tampaknya jinak dan takut manusia. Yang mengkhawatirkan adalah karena kolam tempat hiu itu dkelilingi kamar-kamar kami yang memiliki kamar mandi dan toilet di belakangnya. Saya sempat tergoda ingin menceburkan diri juga, namun mengingat lokasi pembuangan dan kolam yang terlalu dekat, saya urung.



Setelah sarapan lontong ayam, kami diberi kesempatan naik banana boat yang sudah termasuk dalam paket perjalanan kali ini. Satu boat diisi 5 orang dan ditarik kapal motor berkekuatan 40PK. Walaupun cukup seru tapi permainan ini rasanya kurang lengkap karena tidak pakai acara terbalik. Padahal saya menunggu-nunggu momen seru dicemplungkan ke laut ini. Mungkin kekuatan motor terlalu kecil karena kapal penarik kelihatan agak kewalahan untuk membelokkan arah boat. Selesai naik perahu pisang, kami bersiap-siap lagi ke pulau Menjangan (besar atau kecil yah?) untuk kembali snorkeling



Tiba di lokasi, ada rombongan lain yang sedang main banana boat juga disana. Kami snorkeling sambil memberi makan ikan dibawah laut. Waktu sedang asik, tiba-tiba saya merasakan sengatan di jari kelingking yang perih dan panas, seperti digigit semut. Padahal saya tidak menyentuh apapun saat itu, semakin menjadi jika tangan berada di dalam air, namun mereda jika tangan saya angkat. Untungnya tidak berlangsung lama walaupun cukup membuat was-was.

Grup kami lalu dibagi dua, sebagian menikmati pemandangan bawah laut dengan glass-bottomed boat. Sebagian lain ditumpuk di perahu yang diisi melebihi kapasitasnya sehingga perahu itu oleng kesana-kemari. Lebih-lebih, acara utama hari itu rupanya bergaya ugal-ugalan sambil terjun dari atas perahu. Lama-lama ketinggian loncatan makin bertambah. Mula-mula dari sisi perahu, lalu dari anjungan atas, lama-lama ada yang nekat terjun dari atap perahu sambil bersalto. Kegaduhan biasanya terjadi jika salah satu dari kami mentas dari laut, atau mengambil posisi siap terjun. Kapal langsung oleng nyaris terbalik. Tadinya saya agak ragu-ragu, tapi momen ‘terbang’ yang diabadikan sepertinya sayang untuk dilewatkan. Akhirnya saya memberanikan diri dan malah akhirnya ketagihan. Waktu pose yang tertangkap kamera ternyata kurang oke, tanpa ragu saya mengulang terjun lagi. Terjangan air asin yang membuat mata dan pangkal tenggorokan terasa panas tidak menghalangi niat untuk mengulangi terjun.

Tapi lama-lama saya kelelahan juga dan kepala mulai pening karena alt snorkel yang saya pakai menekan dahi, serta terkena paparan sinar matahari yang mulai terik. Rombongan pun bertukar tempat ke glass boat yang dikendarai oleh dua orang abk beserta seorang wanita bule. Sepertinya dia pemilik kapal karena ikut terus dengan perjalanan semua grup. Waktu dia berdiri di depan saya, saya perhatikan kulitnya penuh dengan ruam merah dan kulitnya mulai mengelupas. Beberapa kali ia menggaruk-garuk beberapa bagian, sepertinya dia terserang penyakit kulit yang parah, membuat saya begidik gatal.



Dengan glass boat kami meneruskan perjalanan ke penangkaran hiu yang letaknya sebenarnya tidak jauh dari wisma apung kami. Karena pemasaran, akhirnya saya nyemplung juga ke kolam itu walaupun keadaannya tidak jauh beda dari kolam di wisma apung, dengan pertimbangan setelah itu saya langsung kembali ke wisma dan mandi sebersih-bersihnya. Tapi ketika kembali ke kapal dan melihat lagi si wanita bule itu, mau tidak mau badan saya jadi ‘gemremet’, seolah-olah gatal karena pengaruh sugesti padahal tidak ada apa-apa.



Makan siang hari terakhir itu tidak diselenggarakan secara komunal karena kami harus menyambi mandi dan membereskan barang untuk segera meninggalkan tempat itu. Yang saya salut dari rombongan ini, semuanya tepat waktu, tidak ada yang berlambat-lambat dan membuat orang lain menunggu. Saat kembali ke dermaga di Karimun Jawa, mobil yang mengangkut rombongan saya tidak berhenti di toko suvenir, padahal ternyata disana dijual gelang-gelang kayu yang merupakan asesoris favorit saya.



Akhirnya kami harus meninggalkan tempat itu juga. Kapal KMC Kartini yang membawa kami kembali ke semarng bertolak pukul 13.00 tepat. Sejak pertama ombak cukup besar, karena merasa sangat pusing saya memaksakan diri tidur dengan bantuan antimo. Sekitar 2 jam tertidur, goyangan kabin tertnyata tidak kunjung mereda sehingga saya pindah ke buritan untuk mencari udara segar. Benar saja, rasa pusing berkurang sebegitu kami berada di luar ruangan. Rupanya banyak penumpang yang berpikiran sama karena tidak lama kemudian penumpang disarankan kembali ke kabin karena penumpukan kapal di buritan menyebabkan kecepatan kapal terganggu. Tidak kehilangan akal, kami pindah ke anjungan kapal sambil menunggu matahari terbenam yang ternyata tidak tampak karena tertutup awan. Perjalanan kali itu memang jauh lebih lambat karena ombak besar. Tiba di pelabuhan Semarang hari sudah malam dan hujan turun alaupun tidak terlalu lebat. Beberapa anggota yang melanjutkan perjalanan sendiri berpisah di sana. Padahal rasanya masih ingin melanjutkan kumpul-kumpul. Tapi berkurangnya anggota rombongan ternyata membawa keuntungan tersendiri karena saya jadi menempati dua kursi sendiri dan mendapat ruang cukup leluasa di dalam bis.



Walaupun tidak ada di itinerary, kami menyempatkan mampir sebentar di pandanaran untuk membeli oleh-oleh. Lumayan, ada makanan untuk pengganjal perut sebelum kami makan malam. Saya hanya membeli sedikit oleh-oleh untuk teman-teman kantor dan adik saya. Walaupun merk paling beken saat ini adalah Bandeng Juwana, sebenarnya saya lebih menyukai merk Presto yang biasa dibeli keluarga sejak saya kecil. Harganya memang lebih mahal tapi menurut saya rasanya lebih cocok dengan selera. Toko oleh-oleh yang merupakan pionir oleh-oleh khas semarang itu sekarang justru sepi, mungkin karena selisih harganya yang lumayan. Sayangnya saat itu tidak tersedia bandeng ukuran besar yang saya cari, sehingga akhirnya saya membeli di toko Juwana yang saat ini merupakan sentra oleh-oleh paling ramai di Semarang.



Kami melanjutkan perjalanan, dan berhenti sejenak di Bukit Indah yang kami datangi pada pagi sebelum kami ke pelabuhan. Kali ini saya tidak berselera melihat makanan yang khusus disiapkan untuk rombongan seluruh bis Shantika sehingga saya membeli makanan sendiri. Harganya di mark-up gila-gilaan, setara dengan harga makanan di food court Jakarta dengan kualitas jauh di bawahnya.



Sepanjang perjalanan Semarang – Jakarta, saya terkatung-katung antara tidur dan terjaga. Malah saya sempat mimpi naik bis juga, sungguh mimpi yang tidak kreatif sama sekali. Karena kepadatan di perjalanan, waktu tiba molor dari jadwal perkiraan. Seharusnya jam 5 kami diperkirakan tiba di Terminal, tapi pukul 4.30 kami baru masuk Cikopo. Tol Cikampek pun ternyata padat sehingga kami baru tiba pukul 8. Rasa ngantuk, lelah, ditambah keinginan libur lebih lama membuat kami malas harus kembali kerja. Selamat datang ke dunia nyata karena inilah kehidupan sehari-hari. Kata-kata perpisahan diucapkan, diiringkan dengan janji-janji untuk bertemu kembali dan tetap menjaga hubungan pertemanan yang terjalin begitu manis dalam waktu demikian singkat. Perjalanan boleh berakhir tapi persahabatan tetap akan berlanjut. See you guys soon, jangan lupa datang kopdar dan bagi foto-fotonya ya!

Karimun Jawa – Day 2

Di Pelabuhan Semarang, saya tidak menemukan hal-hal yang menarik, mungkin karena masih sepi pagi itu. Suasana mulai hidup ketika Aji, peserta yang datang khusus datang dari Balikpapan untuk ikut trip ini, tiba. Sambil menunggu Kapal Motor Cepat Kartini I yang akan menyeberangkan kami ke pulau, kami menikmati nasi gudeg yang pas sekali dengan selera saya. Apalagi sarapan kami santap sambil lesehan di lantai semen, sambil merasakan semilir angin laut di pagi hari yang sejuk.



Kapal terbagi menjadi 3 bagian, dek atas untuk kelas eksekutif berisi sekitar 56 tempat duduk. Lambung kapal diatur untuk kelas bisnis yang kami tempati dengan 100 tempat duduk. Sedangkan buritan diisi 12 kursi, tapi tersedia cukup ruang untuk penumpang yang bersedia berdiri sambil menikmati pemandangan laut, atau duduk di lantai.



Saat kapal tiba, kami segera mengambil tempat di kabin kelas bisnis, sambil tidak lupa saya mengambil beberapa foto di bagian depan kapal. Setelah tertidur di setengah pertama perjalanan, saya naik ke buritan, dan rupanya goncangan di sana kurang terasa, mungkin karena ruangan terbuka dan angin laut bebas masuk. Sayangnya di kapal tidak tersedia minuman dingin yang pasti nikmat sekali di tengah udara yang panas itu. Tidak lama saya tinggal di sana karena kantuk kembali menyerang. Saya memang minum obat penangkal mabuk mengingat sewaktu berangkat tadi perut baru saja diisi. Walaupun bangku sangat tidak nyaman, saya sukses tidur sampai kapal tiba di tujuan.



Perjalanan memakan waktu 4 jam dan kami tiba di Karimun Jawa ketika hari sedang terik-teriknya. Kami disambut beberapa mobil, motor dan becak yang siap mengantar ke dermaga tempat beberapa kapal motor bersandar. Mereka akan menyeberangkan kami ke wisma apung yang terletak di tengah laut, kira-kira 10 menit perjalanan dari situ. Pulau kecil itu cukup banyak penduduknya dan rumah-rumah penghuni jaraknya cukup rapat. Mengingat letaknya yang cukup jauh dari pulau Jawa mau tak mau saya berpikir, siapa orang-orang pemberani (atau iseng?) yang dulu berkelana sejauh ini mencari penghidupan. Rumah-rumah disini sudah cukup modern, berdinding tembok dan beratap genteng, sayang kami hanya lewat saja sehingga interaksi kami dengan penduduk hanya sebatas hubungan antara penyedia jasa dan pemakainya.



Tiba di wisma apung, perut kami yang keroncongan disambut dengan hidangan santap siang serba ikan yang membangkitkan selera, setidaknya untuk saya. Dilengkapi pula dengan minuman dingin yang sepertinya es kopyor imitasi, makan siang di tengah laut itu rasanya nikmaaaaaaaaat sekali.

Tempat kami tinggal berupa anjungan-anjungan yang dibangun di atas permukaan laut dangkal. Tembok-tembok dari batu didirikan untuk menyangga dinding dan lantai kayu beratap asbes. Kamar kami tersusun sebelah menyebelah, sementara di sisi depan tersedia anjungan yang cukup luas untuk makan, gazebo dan dermaga mini untuk kapal menyandar. Sementara tempat-tempat yang tidak tertutup lantai digunakan untuk memelihara beberapa jenis hiu, penyu dan biota laut lain. Lantai laut di belakang kamar kami yang dangkal dipenuhi dengan bulu babi. Ini adalah konsep tempat tinggal yang benar-benar serasi dengan alam, apalagi hasil buangan dari toilet di belakang kamar langsung ditampung laut lepas. Dan inilah contoh paling lugas dari fenomena rantai makanan mengingat makan siang kami sangat boleh jadi ditangkap dari laut yang sama.



Setelah pembagian kamar dilakukan, sekitar pukul 14.30 kami kembali menaiki perahu. Kali ini, wisata benar-benar sudah dimulai! Pulau pertama yang kami tuju adalah Tanjung Gelam. Di tengah perjalanan, angin yang bertiup cukup kencang menerbangkan topi yang saya pakai ketka kami sudah hampir sampai di tujuan. Untuk pengemudi perahu berbaik hati memutar balik dan memungutnya dari tengah laut. Selanjutnya topi yang dipinjamkan tanpa diminta oleh teman saya itu, tidak saya gunakan lagi karena mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya hehehe. Garis pantai di Tanjung Gelam tidak begitu luas karena seluruh pulau dipenuhi tumbuhan khas pesisir. Menggunakan alat yang tersedia untuk kami sewa selama dua hari itu, saya belajar snorkeling. Sepertinya ada yang salah dengan teknik bernapas saya karena bolak-balik saya menelan air asin. Tapi karena memakai jaket pelampung, saya nekat berenang agak ke tengah. Ternyata terumbu karang disitu sangat dekat dengan permukaan laut dan tajam-tajam. Di sedikit area yang aman untuk bertengger, arus cukup kuat menarik kami sehingga pijakan kaki goyah. Karena jemari dan lutut saya sudah mulai perih-perih tergores karang, ditambah lagi teknik bernapas saya yang belum benar, saya jadi gugup dan memutuskan untuk bemain-main di pantai saja. Kami tidak lama disitu dan melanjutkan perjalanan ke Lagun Buaya.



Kali ini saya berhasil menemukan teknik bernapas yang benar dengan alat snorkel, dan betapa bahagianya saya menemukan pemandangan indah di bawah laut yang selama ini hanya saya lihat di televisi. Terumbu karang beraneka bentuk terhampar di dasar laut. Gugusan disini lebih ramah karena banyak yang bulat dan letaknya cukup jauh dari permukaan, didominasi nuansa biru dan ungu. Disana-sini terlihat bulu babi dan ikan-ikan yang berenang di sela-sela karang. Sambil berendam di air laut yang hangat saya merasakan desiran-desiran arus bawah laut yang dingin. Sensasi yang baru saya rasakan pertama kali itu sulit dilukiskan indahnya dengan kata-kata. Ketika kepala terbenam dan mata menyaksikan pemandangan indah itu, saya seperti mengungsi ke dunia lain, yang tenang namun memiliki kesemarakan tersendiri. Walaupun hati belum puas namun hari mulai beranjak sore. Kepala saya pun mulai pening, mungkin akibat tekanan air laut dan sisa kepenatan perjalanan yang cukup panjang. Ketika kembali ke pulau sambil menyaksikan matahari terbenam di laut lepas, firasat saya bahwa perjalanan ini akan menyenangkan menjadi kenyataan. Kalau bisa, seluruh mal di Jakarta ingin saya tukar dengan luasan alam ini. Tiba di wisma apung, sisa semburat sinar matahari masih tertinggal di sela-sela awan, saya memanfaatkan saat-saat terakhir ini untuk mengambil gambar karena tadi kamera saya tidak terbawa.



Sambil menunggu makan malam, kami punya cukup waktu untuk mandi dan membersihkan diri. Walaupun air agak asin tapi itu tidak masalah buat saya. Rasa-rasanya air di kawasan Pasar Baru dan Kelapa Gading tidak lebih baik kualitasnya daripada air di wisma. Acara dilanjutkan dengan makan malam dan perkenalan. Acara perkenalan ini cukup sukses membuka aib masing-masing peserta, termasuk mengulik-ulik kisah-kisah masa lalu (ahem!). Walaupun belum hapal nama semuanya, namun keakraban sudah mulai terjalin diantara kami. Sisa malam diisi dengan tawa dan canda serta perbincangan-perbincangan yang menyejukkan hati. Hanya kepenatan yang akhirnya mengantar kami ke kamar masing-masing, mengingat esok hari kami sudah harus bangun kembali. Sesuai perkiraan saya, kamar tidur kami sama sekali tidak panas karena sirkulasi udara cukup. Hanya saja sekitar pukul 2, saya terbangun dan merasakan di dalam kamar agak pengap karena angin tiba-tiba mati. Pintu kamar saya buka sedikit agar udara sejuk diluar kamar masuk ke dalam, dan saya kembali nyenyak sampai pagi.

Karimun Jawa – Day 1

Keikut sertaan saya dalam trip karimun Jawa yang diadakan jejakkaki diambil berdasarkan impuls. Setelah 2 minggu melihat pengumuman wira-wiri di milis, saya pikir pasti peserta sudah penuh. Bermula dari keisengan menelpon Santos, tiba-tiba saya sudah memegang bukti pelunasan pembayaran untuk perjalanan tersebut. Sejak itu, setiap hari adalah penantian yang panjang.



Walaupun cukup santai ketika berkemas, pada hari keberangkatan, tak urung saya deg-degan juga. Ketika kita diburu waktu untuk melakukan sesuatu memang rasanya penghalang sekecil apapun bisa sangat menjengkelkan. Peserta dijadwalkan berkumpul pukul 6 sore di Terminal Rawamangun, dan saya merencanakan pulang dari kantor pukul 4, agar ada waktu bersiap-siap dan mandi dulu. Rencana tinggal rencana, waktu yang saya tentukan sudah lewat tapi meeting belum berakhir dan klien saya secara ajaib menemukan hal-hal baru untuk dibicarakan. Saya pulang dengan terburu-buru, mandi pun dilakukan kilat. Untunglah semua bawaan sudah disiapkan sehingga pada perjalanan kali ini tidak ada satu barangpun yang tertinggal.



Saya janji untuk bertemu di Gedung BNI dan berangkat bersama teman yang baru saya kenal Adri, ke Terminal Rawamangun.



Hari mulai gelap, jalanan mulai padat dan hujan rintik-rintik mulai turun. Pikiran saya dipenuhi kegelisahan dan penasaran akan banyak hal. Ketika kami tiba, ternyata sudah banyak teman-teman yang berkumpul di terminal, dan ketika kami menaiki bis, diluar dugaan ternyata hampir semua bangku sudah terisi penuh. Saya dan Adrie duduk di bangku paling belakang di lajur kiri.

Setelah peserta terakhir Djony, datang, bis Shantika yang resminya bertrayek Jepara – Jakarta berangkat lebih awal setengah jam dari waktu yang ditentukan. Ini adalah sebuah awal yang baik, dan saya memiliki firasat bahwa perjalanan ini akan menyenangkan.



Suasana menyenangkan yang terbangun sejak awal ini membuat hati saya tetap ringan walaupun tempat duduk di bis kurang nyaman. Sebelah kaki saya sakit akibat posisi duduk yang canggung, tapi ajaibnya saya tetap tidur nyenyak, padahal biasanya saya sulit tidur dalam perjalanan meskipun untuk jarak jauh. Tetapi saat itu memang suasana dalam bis terasa senyap, setidaknya dari tempat saya duduk, mungkin karena kami belum saling mengenal.

Secara umum perjalanan cukup lancar, kepadatan yang terjadi di satu dua titik bukanlah sesuatu yang tidak wajar dan tidak menyebabkan keterlambatan dalam perjalanan kami.

Pukul 21.45 kami tiba di rumah makan Taman Sari yang terletak di daerah Pamanukan. Dan yang pertama-tama dilakukan para wanita adalah antri ke toilet, walaupun kebersihan kamar mandi cukup memprihatinkan, tapi sepertinya tempat pemberhentian ditentukan oleh jasa penyelenggara angkutan sehingga kami hanya bisa terima saja. Tapi jika boleh memberi masukan, di sepanjang rute Ciasem – Pamanukan, banyak terdapat rumah-rumah makan yang namanya selalu identik dengan nama wanita. Dari Vicky sampai Lastri semua ada, tetapi yang terbanyak adalah rumah makan dengan judul Ragil atau Ligar, kebalikan dari Ragil. Rumah-rumah makan itu merupakan tujuan perhentian dari truk-truk pengangkut barang yang melintas di sepanjang jalur pantura. Tapi tidak semua warung itu merangkap sebagai warung lampu merah, banyak diantaranya yang menyajikan menu-menu yang enak, murah dan fasilitas kamar mandi yang sangat bersih, pengunjungnya pun bukan melulu supir truk, warga biasa juga banyak. Salah satunya adalah rumah makan Nicki. Pengetahuan ini saya dapatkan setelah beberapa kali ikut truk pengangkut barang dari gudang di Karawang ke tempat ayah saya bekerja di Pekalongan dulu.

Sambil menunggu, saya menggunakan waktu untuk berkenalan dengan peserta lain. Bulan muncul walaupun belum penuh. Langit malam dipenuhi kelelawar yang berkelebat dari arah pepohonan di samping lahan parkir.



Bis melanjutkan perjalanan dan ketika saya dibangunkan ternyata hari sudah pagi. Berarti saya benar-benar tidur lelap karena tak terasa bis sudah sampai di rumah makan Bukit Indah yang terletak di Gringsing. Kami sengaja berhenti agak lama disini karena jarak ke Semarang sudah dekat sedangkan hari masih sangat dini, sementara kapal baru akan bertolak pukul 9. Lagi-lagi kami ke kamar mandi, dan kali inipun kamar mandi kurang bersih. Bahkan di seluruh penjuru tempat menguar aroma kurang sedap yang saya perkirakan berasal dari kandang ayam entah dimana. Ketika saya sedang di kamar mandi, saya melihat stiker bermerk Sweet Love. Saya ingat sekali, ini adalah merk celana dalam wanita yang sudah ada sejak dulu, salah satu barang dagangan paling laris di toko milik nenek saya yang sekarang sudah almarhum (tokonya). Celana dalam merk Sweet Love ini terbuat dari bahan katun elastis yang nyaman, tapi jauh dari modis karena berpinggang tinggi menutup pusar dan bermodel gombor, tidak seksi sama sekali, apalagi stiker yang tertempel disitu size-nya LLL. Saya geli sendiri karena teringat masa-masa kecil dulu, melipat-lipat barang dagangan berbagai warna dan ukuran adalah tugas wajib saya setiap kali nenek saya selesai kulakan. Tak disangka merk yang satu itu masih tetap eksis sampai berpuluh-puluh tahun kemudian tanpa banyak promosi.

Dua rumah makan yang kami sambangi saya perhatikan memiliki kesamaan, yaitu, semua pegawainya memakai seragam yang mirip, bermotif batik geometris berbentuk belah ketupat. Di Pamanukan warna seragamnya hijau, sedangkan di Gringsing biru.

Setelah hari cukup terang kami melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Tanjung Mas Semarang.

Friday, October 10, 2008

KISAH BOTOL AQUA

Sehubungan dengan pemanasan global yang makin gila dan efeknya udah mulai kerasa di kehidupan sehari-hari, gw berusaha untuk berpartisipasi menjaga lingkungan dengan cara yang gw bisa.
Nah cara-cara itu biasanya dimulai dari kehidupan sehari-hari.

Contohnya, sekarang, tiap kali makan siang, gw menghindari beli air minum dalam kemasan. Mau itu aqua botol, aqua gelas, ato teh siap saji yang biasanya disajiin di gelas plastik.
Masih berhubungan dengan botol aqua, gw berusaha memanfaatkan botol2 aqua gelas di kos gw untuk berbagai macam keperluan, misalnya, buat naro karbol, ato sabun cuci dan benda2 cair lain, karena biasanya gw beli benda2 itu dengan kemasan isi ulang biar lebih hemat.
Kadang2 juga botol yang udah dicuci gw isi air minum lagi en gw taroh di kulkas, walopun dalam hal ini ngga gw simpen lama karena katanya ngga sehat dan takut terkontaminasi

Semalem gw itu habis nyuci2, dan karena cape, gw geletakin aja tuh botol di samping kasur gw yang ngampar dibawah, pikir gw, besok aja baru gw beresin.
Tapi ketika bangun pagi, yang pertama gw pikirin tuh adalah "gw laper berat!!" padahal jarang-jarang tuh gw laper pagi2 banget gitu, karena gw biasanya sarapan setelah gw nyampe di kantor, bisa jam 9 ato jam 10 pagi. Kalo wiken malah kadang2 sarapan gabung ama makan siang sekalian.
jadi, begitu bangun pagi, yang gw lakukan pertama kali adalah masak indomi, terus nongkrong di depan tv sambil ngemilin indomie anget, lengkap dengan air dan jeruk dingin yang fresh from the kulkas.

Nah waktu gw lagi makan sambil nongton tipi gitu, tiba2 kok leher gw seret ya? Spontan gw pun ngambil air dingin di sebelah gw sambil mata gw ngga lepas dari tv.
Tiba2 waktu gw berasa itu air udah hampir masuk ke mulut gw, kok gw mencium 'wangi' yang aneh dari botol yang gw pegang, sama sekali bukan bau jeruk.
Spontan gw mengalihkan perhatian, dan ternyata yang hampir gw tenggak itu adalah botol aqua berisi cairan sabun sodara-sodara!!!
Gw ngga nyadar karena gw duduk di deket tempat botol itu gw taruh dengan asal2an semalem, dan botol minum bertengger dengan manisnya disebelahnya.
Pelajaran moralnya: jangan naro cairan sabun di botol aqua karena bisa salah minum!!!

Labels: ,