Friday, October 24, 2008

Karimun Jawa – Day 2

Di Pelabuhan Semarang, saya tidak menemukan hal-hal yang menarik, mungkin karena masih sepi pagi itu. Suasana mulai hidup ketika Aji, peserta yang datang khusus datang dari Balikpapan untuk ikut trip ini, tiba. Sambil menunggu Kapal Motor Cepat Kartini I yang akan menyeberangkan kami ke pulau, kami menikmati nasi gudeg yang pas sekali dengan selera saya. Apalagi sarapan kami santap sambil lesehan di lantai semen, sambil merasakan semilir angin laut di pagi hari yang sejuk.



Kapal terbagi menjadi 3 bagian, dek atas untuk kelas eksekutif berisi sekitar 56 tempat duduk. Lambung kapal diatur untuk kelas bisnis yang kami tempati dengan 100 tempat duduk. Sedangkan buritan diisi 12 kursi, tapi tersedia cukup ruang untuk penumpang yang bersedia berdiri sambil menikmati pemandangan laut, atau duduk di lantai.



Saat kapal tiba, kami segera mengambil tempat di kabin kelas bisnis, sambil tidak lupa saya mengambil beberapa foto di bagian depan kapal. Setelah tertidur di setengah pertama perjalanan, saya naik ke buritan, dan rupanya goncangan di sana kurang terasa, mungkin karena ruangan terbuka dan angin laut bebas masuk. Sayangnya di kapal tidak tersedia minuman dingin yang pasti nikmat sekali di tengah udara yang panas itu. Tidak lama saya tinggal di sana karena kantuk kembali menyerang. Saya memang minum obat penangkal mabuk mengingat sewaktu berangkat tadi perut baru saja diisi. Walaupun bangku sangat tidak nyaman, saya sukses tidur sampai kapal tiba di tujuan.



Perjalanan memakan waktu 4 jam dan kami tiba di Karimun Jawa ketika hari sedang terik-teriknya. Kami disambut beberapa mobil, motor dan becak yang siap mengantar ke dermaga tempat beberapa kapal motor bersandar. Mereka akan menyeberangkan kami ke wisma apung yang terletak di tengah laut, kira-kira 10 menit perjalanan dari situ. Pulau kecil itu cukup banyak penduduknya dan rumah-rumah penghuni jaraknya cukup rapat. Mengingat letaknya yang cukup jauh dari pulau Jawa mau tak mau saya berpikir, siapa orang-orang pemberani (atau iseng?) yang dulu berkelana sejauh ini mencari penghidupan. Rumah-rumah disini sudah cukup modern, berdinding tembok dan beratap genteng, sayang kami hanya lewat saja sehingga interaksi kami dengan penduduk hanya sebatas hubungan antara penyedia jasa dan pemakainya.



Tiba di wisma apung, perut kami yang keroncongan disambut dengan hidangan santap siang serba ikan yang membangkitkan selera, setidaknya untuk saya. Dilengkapi pula dengan minuman dingin yang sepertinya es kopyor imitasi, makan siang di tengah laut itu rasanya nikmaaaaaaaaat sekali.

Tempat kami tinggal berupa anjungan-anjungan yang dibangun di atas permukaan laut dangkal. Tembok-tembok dari batu didirikan untuk menyangga dinding dan lantai kayu beratap asbes. Kamar kami tersusun sebelah menyebelah, sementara di sisi depan tersedia anjungan yang cukup luas untuk makan, gazebo dan dermaga mini untuk kapal menyandar. Sementara tempat-tempat yang tidak tertutup lantai digunakan untuk memelihara beberapa jenis hiu, penyu dan biota laut lain. Lantai laut di belakang kamar kami yang dangkal dipenuhi dengan bulu babi. Ini adalah konsep tempat tinggal yang benar-benar serasi dengan alam, apalagi hasil buangan dari toilet di belakang kamar langsung ditampung laut lepas. Dan inilah contoh paling lugas dari fenomena rantai makanan mengingat makan siang kami sangat boleh jadi ditangkap dari laut yang sama.



Setelah pembagian kamar dilakukan, sekitar pukul 14.30 kami kembali menaiki perahu. Kali ini, wisata benar-benar sudah dimulai! Pulau pertama yang kami tuju adalah Tanjung Gelam. Di tengah perjalanan, angin yang bertiup cukup kencang menerbangkan topi yang saya pakai ketka kami sudah hampir sampai di tujuan. Untuk pengemudi perahu berbaik hati memutar balik dan memungutnya dari tengah laut. Selanjutnya topi yang dipinjamkan tanpa diminta oleh teman saya itu, tidak saya gunakan lagi karena mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya hehehe. Garis pantai di Tanjung Gelam tidak begitu luas karena seluruh pulau dipenuhi tumbuhan khas pesisir. Menggunakan alat yang tersedia untuk kami sewa selama dua hari itu, saya belajar snorkeling. Sepertinya ada yang salah dengan teknik bernapas saya karena bolak-balik saya menelan air asin. Tapi karena memakai jaket pelampung, saya nekat berenang agak ke tengah. Ternyata terumbu karang disitu sangat dekat dengan permukaan laut dan tajam-tajam. Di sedikit area yang aman untuk bertengger, arus cukup kuat menarik kami sehingga pijakan kaki goyah. Karena jemari dan lutut saya sudah mulai perih-perih tergores karang, ditambah lagi teknik bernapas saya yang belum benar, saya jadi gugup dan memutuskan untuk bemain-main di pantai saja. Kami tidak lama disitu dan melanjutkan perjalanan ke Lagun Buaya.



Kali ini saya berhasil menemukan teknik bernapas yang benar dengan alat snorkel, dan betapa bahagianya saya menemukan pemandangan indah di bawah laut yang selama ini hanya saya lihat di televisi. Terumbu karang beraneka bentuk terhampar di dasar laut. Gugusan disini lebih ramah karena banyak yang bulat dan letaknya cukup jauh dari permukaan, didominasi nuansa biru dan ungu. Disana-sini terlihat bulu babi dan ikan-ikan yang berenang di sela-sela karang. Sambil berendam di air laut yang hangat saya merasakan desiran-desiran arus bawah laut yang dingin. Sensasi yang baru saya rasakan pertama kali itu sulit dilukiskan indahnya dengan kata-kata. Ketika kepala terbenam dan mata menyaksikan pemandangan indah itu, saya seperti mengungsi ke dunia lain, yang tenang namun memiliki kesemarakan tersendiri. Walaupun hati belum puas namun hari mulai beranjak sore. Kepala saya pun mulai pening, mungkin akibat tekanan air laut dan sisa kepenatan perjalanan yang cukup panjang. Ketika kembali ke pulau sambil menyaksikan matahari terbenam di laut lepas, firasat saya bahwa perjalanan ini akan menyenangkan menjadi kenyataan. Kalau bisa, seluruh mal di Jakarta ingin saya tukar dengan luasan alam ini. Tiba di wisma apung, sisa semburat sinar matahari masih tertinggal di sela-sela awan, saya memanfaatkan saat-saat terakhir ini untuk mengambil gambar karena tadi kamera saya tidak terbawa.



Sambil menunggu makan malam, kami punya cukup waktu untuk mandi dan membersihkan diri. Walaupun air agak asin tapi itu tidak masalah buat saya. Rasa-rasanya air di kawasan Pasar Baru dan Kelapa Gading tidak lebih baik kualitasnya daripada air di wisma. Acara dilanjutkan dengan makan malam dan perkenalan. Acara perkenalan ini cukup sukses membuka aib masing-masing peserta, termasuk mengulik-ulik kisah-kisah masa lalu (ahem!). Walaupun belum hapal nama semuanya, namun keakraban sudah mulai terjalin diantara kami. Sisa malam diisi dengan tawa dan canda serta perbincangan-perbincangan yang menyejukkan hati. Hanya kepenatan yang akhirnya mengantar kami ke kamar masing-masing, mengingat esok hari kami sudah harus bangun kembali. Sesuai perkiraan saya, kamar tidur kami sama sekali tidak panas karena sirkulasi udara cukup. Hanya saja sekitar pukul 2, saya terbangun dan merasakan di dalam kamar agak pengap karena angin tiba-tiba mati. Pintu kamar saya buka sedikit agar udara sejuk diluar kamar masuk ke dalam, dan saya kembali nyenyak sampai pagi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home