Wednesday, February 20, 2008

BERKATI JANDA-JANDA DAN YATIM PIATU, BAIK DI DARAT, LAUT MAUPUN UDARA

Perjalanan gw kemarin ke Balikpapan – Samarinda lumayan berkesan karena selain kota-kota ini belum pernah gw datengin sebelumnya, juga karena gw berkesempatan ketemu sodara-sodara yang udah lama ngga ketemu.

Sodara gw ini biasa gw panggil Mami Lan dan keluarganya. Beliau ini adalah kakaknya Mama gw. Beliau menikah sama Papi Rudy Tumbel dan punya 3 anak, Cie Reni, Chris dan Revi.
Mereka berdua suami istri adalah pendeta di Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) yang udah beberapa kali dipindahtugaskan untuk merintis pelayanan baru.

Tempat tugas mereka yang gw tau ada 3, yang pertama di Panarukan-Situbondo di Jawa Timur. Gw ngga pernah kesana, tapi cukup sering denger nama tempat ini disebut waktu gw masih kecil karena almarhumah Oma gw sering kesana, dan gw juga sering dapet kiriman mangga dari Mami Lan sewaktu mereka masih tinggal di sana.

Dari Situbondo, mereka dipindah ke Pare – Kediri. Gw pernah dateng kesini 2 kali, yang pertama waktu gw masih kelas 5 SD. Yang ke 2 waktu gw kelas 2 SMP. Waktu itu sekalian gw ikut Youth Camp di Sekolah Alkitab Batu yang diadain tiap liburan sekolah. Gw malah sempet dapet beberapa temen akrab di sana, namanya Joice dan Cynthia.
Di Pare ini mereka lumayan lama juga, bahkan gereja dan pastori tempat mereka tugas udah sampai direnovasi jadi bagus banget sebelum mereka akhirnya dipindahkan ke Samarinda pada tahun 1993.

Setelah mereka pindah ke Samarinda, kayaknya sih gw sempet juga ketemu mereka sekali atau dua kali pas mereka dateng ke Jawa, tapi gw agak lupa juga. Nggak nyangka akhirnya gw dapat kesempatan untuk ke Samarinda dan ngunjungin mereka di ‘habitat’ nya.
Seperti umumnya pendeta lain, tempat tinggal mereka, yang disebut PASTORI, lokasinya deket gereja, biasanya kalau nggak di samping atau di belakang gereja.

Di rumah Mami dan Papi selalu ada banyak orang. Karena mereka pendeta senior yang sudah punya sidang jemaat sendiri, setiap kali selalu ada banyak siswa-siswa sekolah alkitab yang tugas praktek disitu. Mereka ini biasanya membantu pelayanan, misalnya pelayanan kebaktian di cabang-cabang, membesuk jemaat-jemaat yang sakit atau perlu di tengok, memimpin kebaktian keliling d rumah-rumah bahkan kadang-kadang mereka difasilitasi kalau ingin merintis membuka gereja baru di daerah-daerah terpencil yang mungkin belum terjangkau oleh gereja besar.

Sebelum ke tempat mereka, kami mampir dulu beli sarapan untuk dimakan di rumah. Ada salah satu kebiasaan yang tetap dipertahankan disini, yaitu makan bersama-sama di meja, diawali dengan doa bersama. Makanya di rumah Papi selalu ada meja makan panjang. Bahkan kadang-kadang, kita makan tuh bergantian sampai 3 ronde karena disana nggak ada tuh stilah makan sendiri-sendiri sambil nonton TV masing-masing, kecuali kalau pada saat jam makan itu kita lagi nggak di rumah. Bahkan ketika makan di luar, kebiasaan doa bersama (say Grace) itu pun masih dijalankan. Gw inget banget, seak kecil gw paling tegng kalo pas doa bersama ini karena takut disuruh berdoa. Entah kenapa, gw nggak nyaman aja kalau harus mengucapkan doa keras-keras. Apalagi kalo pas rame-rame, dimana semua orang bisa mendengar (dan menilai) kalimat-kalimat yang kita ucapkan.

Nah waktu kita berdoa makan itu, ada satu kalimat yang seolah-olah transporting me back to the past, yaitu ketika Mami mengucapkan “Berkatilah janda-janda dan yatim piatu”. Kalimat ini sudah lamaaaaaaaaa banget nggak gw dengar. Tapi waktu gw kecil dulu, ini adalah kalimat yang sangat akrab di telingaku karena hampir setiap doa makan, kalimat ini selalu diucapkan. Doa makan kami secara garis besar memang dibagi jadi 3:
Bagian pertama, megucap syukur untuk makanan yang dihidangkan
Bagian kedua, mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang sudah menyiapkan makanan ini dan minta Tuhan memberkati mereka
Bagian ketiga, berdoa supaya orang-orang lain bisa merasakan berkat seperti yang kita rasakan, termasuk diantaranya.., para janda-anda dan yatim piatu itu tadi, yang bisa dijuga diartikan sebagai orang-orang yang tidak mampu atau kaum dhuafa.

Selain waktu makan, doa bersama kalau kita mau melakukan perjalanan, terutama perjalanan jauh. Nah, waktu gw mau diantar ke Balikpapan untuk naik pesawat ke Jakarta Mami memimpin doa dan mengucapkan satu kalimat lagi yaitu “lindungilah perjalanan kami baik di darat, laut maupun udara.”
Begitu mendengar kalimat itu, rasanya aku jadi sentimentil karena teringat-ingat waktu aku masih kecil.
Padahal, doa syafaat itu kan yang mengucapkan bisa siapa saja, tapi entah kenapa, di lingkungan gereja Pantekosta, dua kalimat itu selalu muncul di setiap doa makan dan doa perjalanan dan ternyata kalimat-kalimat sederhana itu meninggalkan kesan yang mendalam buat gw.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home